Kenaikan Harga BBM
Saat ini,
banyak sekali kegiatan manusia di muka bumi ini yang menggunakan energi dari
Bahan Bakar Minyak (BBM). Bahkan hampir di setiap lini ada saja energi dari
minyak yang digunakan. Sebut saja memasak, menggerakan mobil/motor, menggerakan
mesin-mesin pabrik, menghidupkan listrik, mejalankan kapal, menerbangkan
pesawat dan lain sebagainya.
Setelah
terbuai selama puluhan tahun dengan melimpahnya sumberdaya minyak bumi, manusia
mulai khawatir akan habis/hilangnya sumberdaya ini apabila dieksploitasi secara
terus-menerus. Kekhawatiran ini dikarenakan manusia masih kesulitan menemukan
sumber energi lain yang serupa manfaatnya maupun ekonomisnya dengan minyak
bumi.
Di
Indonesia, seruan pemerintah agar masyarakat menurunkan tingkat konsumsi energi
BBM dengan segala cara, sepertinya kurang berhasil. Terbukti konsumsi BBM per
tahunnya selalu meningkat. Padahal seruan ini sudah membawa-bawa berbagai macam
alasan, diataranya adalah untuk mengurangi emisi/pencemaran udara, mengurangi
efek global warming dan lain sebagainya, termasuk untuk menghemat subsidi BBM
dari APBN yang terus meningkat.
Tapi
upaya-upaya itu seperti tidak digubris oleh masyarakat kita. Lihat saja
sekarang, berapa kali lipat jumlah sepeda motor dibandingkan 10 tahun yang
lalu? berapa jumlah mobil dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu? Kendaraan
bermotor seperti sepeda motor dan mobil yang dulu merupakan barang mewah,
sekarang seperti jajanan pasar saja yang siapa saja bisa membeli termasuk
masyarakat golongan ekonomi lemah. Kemudahan dalam pembelian dengan adanya
perusahaan-perusahaan pembiayaan merupakan salah satu faktor utama. Di samping
itu, regulasi pemerintah dalam membatasi jumlah kendaraan bermotor juga seperti
datang terlambat.
Peningkatan
jumlah kendaraan bermotor sudah barang tentu meningkatkan konsumsi Bahan Bakar
Minyak. Padahal sebagian besar produk BBM di Indonesia yang beredar di pasaran
(SPBU) adalah BBM bersubsidi. Apabila tidak dicarikan solusi, Negara pasti akan
koleps karena devisit anggaran gara-gara APBN banyak dipakai untuk subsidi BBM,
yang entah siapa yang minum. Sebenarnya, apabila anggaran subsidi BBM tersebut
dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan lain, pasti akan lebih bermanfaat,
asal tidak dikorupsi.
Fakta
Masalah
Sudah bisa
dipastikan, kenaikan BBM akan merugikan masyarakat. Pengguna BBM seperti
pengendara motor dan mobil akan langsung merasakannya. Transportasi umum juga
sudah pasti akan menaikkan ongkos jasanya, sehingga pengguna transportasi umum
juga akan segera merasakan dampaknya. Lalu, para pengguna transportasi umum
kemungkinan akan beralih ke sepeda motor untuk berhemat, sehingga kenaikan
harga BBM pun akan membunuh transportasi umum. Semuanya akan kejepit.
Tapi tidak
hanya sektor transportasi yang akan terkena dampaknya. Dalam Peraturan Presiden
No. 15 Tahun 2012 Tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan
Bakar Tertentu, disebutkan beberapa kategori pengguna BBM bersubsidi selain
transportasi. Mereka adalah usaha perikanan yang terdiri dari nelayan dan
pembudi daya ikan skala kecil; usaha pertanian kecil dengan luas maksimal 2
hektar; usaha mikro; dan pelayanan umum seperti krematorium. Semua pengguna ini
akan terkena dampak kenaikan harga BBM.
Logikanya
mirip dengan dampak di sektor transportasi. Kita ambil contoh petani kecil
tanaman pangan. Harga tanaman pangan para petani ini akan naik, karena ongkos
produksi untuk memproduksi tanaman pangannya akan naik akibat kenaikan harga
BBM. Artinya, para pembeli tanaman pangan para petani ini akan terkena
dampaknya. Lalu, dengan lumayan banyaknya tanaman pangan impor, ada kemungkinan
para pembeli tanaman pangan si petani akan beralih ke tanaman pangan impor.
Akibatnya, kenaikan harga BBM pun akan membunuh usaha pertanian si petani
kecil.
Kenaikan BBM
memang cenderung akan menaikkan harga barang-barang lain atau inflasi. Para
ahli pun sudah memprediksinya, meski dengan angka yang beragam. Pengamat
ekonomi Aviliani, misalnya, menyatakan bahwa kenaikan harga BBM akan mengakibatkan
tingkat inflasi nasional tahun ini menjadi 6,5%. “Apabila kenaikan BBM berkisar
Rp1.500 sampai Rp2.000 kemungkinan inflasi akan bertambah sekitar 1 hingga 2
persen sehingga inflasi nasional akan naik menjadi sekitar 6,5%,” ungkap
Aviliani seperti dikutip Antaranews.com (25/2).
Tahun 2012
ini pemerintah kembali dihadapkan pada kenaikan harga minyak dunia. Meskipun
kenaikan tersebut dipicu oleh ketegangan politik sesaat di Timur Tengah, tidak
ada seorang pun yang berani memprediksi sampai kapan berlangsung.
Banyak yang
menyarankan bahwa tahun 2011 pemerintah seharusnya sudah menaikkan harga BBM,
khususnya premium secara bertahap agar dampaknya tidak memberatkan. Namun,
pemerintah tidak mendengarkan aspirasi tersebut.
Sekarang
pemerintah mencoba membatasi BBM mulai April 2012 dan menutup kenaikan harga
BBM. Upaya sudah dilakukan, tetapi belum siap dan bahkan keteteran
persiapannya, baik dari sisi infrastruktur maupun sosial-ekonomi. Dengan
tekanan harga minyak dunia, kini pemerintah mulai berpikir realistis untuk
menaikkan harga BBM. Sayang, pemerintah tidak bisa bertindak cepat karena tidak
memiliki landasan hukum akibat lalai dalam UU APBN 2012 Pasal 7 Ayat 4 dan Ayat
6.
Kejadian
2005 dan 2008 terulang kembali, kenaikan harga BBM tidak bisa ditawar lagi.
Dengan subsidi akan mencapai Rp 200 triliun jika harga BBM tidak dinaikkan,
pemerintah bermaksud menurunkan harga pada tingkat yang wajar. Caranya seperti
yang diwacanakan di media. Pertama, melalui penetapan subsidi per liter
sepanjang tahun atau kedua, penetapan (kenaikan) harga per liter satu kali
dengan besaran tertentu.
Alternatif
pertama berarti harga premium akan berubah sesuai dengan harga keekonomiannya
(atau harga pasar). Kebijakan ini sangat membantu APBN memberikan kepastian
anggaran subsidi dan akan diadministrasikan oleh Pertamina, seperti Pertamax.
Bedanya untuk Premium masih akan diberlakukan sistem subsidi harga. Kebijakan
ini ada kemungkinan bertentangan dengan UU Migas karena Mahkamah Konstitusi
telah menghapus pasal yang menyebutkan pola penetapan harga BBM berdasarkan
harga pasar. Alternatif ini jika lolos dari sisi hukum akan memberikan
kepastian dari sisi APBN. Risikonya adalah apabila harga minyak dunia turun,
pendapatan minyak turun, sementara subsidi BBM tetap alhasil APBN bisa tekor.
Alternatif
kedua adalah kenaikan harga BBM. Sangat sederhana dan mudah, tetapi besarannya
sulit ditentukan karena ketidakpastian harga minyak dunia. Belum lagi apabila
dilakukan secara agresif, dampak sosial-ekonominya akan terasa berat.
Masalah BBM Yang Dilematis
Opsi Delematis
Berita utama
(headline news) pada berbagai media masa akhir-akhir ini masih berkisar pada
rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Memang, Pasal 14ayat 2 dari UU
APBN-P 2008 telah memberi keluwesan bertindak pemerintah untuk mengambil
langkah ini tanpa lagi harus melalui proses pembahasan APBN-P yang kesekian
kalinya, mengingat harga minyak dunia yang sangat fluktuatif. Di lain pihak,
Pasal ini juga memberi catatan bahwa andai kata keputusannya adalah menaikkan
harga BBM maka jalan yang ditempuh ini harus menjadi opsi terakhir setelah
berbagai opsi alternatif dipertimbangkan secara tuntas. Beberapa opsi
alternatif atau yang komplementer atas kenaikan harga BBM yang dikemukakan (dan
seberapa jauh alternatif tersebut realistis atau tidak) antara lain adalah
sebagai berikut.
Pertama,
Menaikkan
produksi minyak bumi Indonesia. Alternatif ini tidak realistis karena produksi
minyak bumi Indonesia, sebagaimana halnya pada sebagian besar negara produsen
minyak bumi saat ini, telah melewati tingkat puncaknya sehingga cenderung untuk
terus menurun. Jumlah produksi yang pada APBN 2008 dipatok sebesar 1,034 juta
barrel/hari bahkan harus direvisi ke bawah menjadi hanya 927 ribu barrel/hari
pada APBN-P 2008.
Kedua,Sebagai
anggota OPEC meminta organisasi ini untuk mengupayakan penurunan harga minyak
dunia. Walaupun Indonesia dapat menghimbau sebagai suatu sikap moral suasion,
dari sudut kekuatan ekonomi Indonesia mempunyai pangsa suara yang kecil dan
bahkan ada kemungkinan untuk keluar dari lembaga ini.
Ketiga,
Mensubstitusi
penggunaan minyak tanah rumah tangga dengan gas tabung. Opsi ini juga tidak
akan banyak membantu APBN karena langkah ini lebih banyak tertuju pada
peralihan pola penggunaan energi masyakat daripada sebagai suatu jalan keluar
atas terjadinya ketidakseimbangan keuangan negara.
Keempat,
Mencari dana
pinjaman negara donor untuk membiayai pengeluaran subsisi BBM dan subsidi
listrik yang membengkak. Opsi ini juga kurang realistis, karena para donor,
terutama dari kalangan donor kelompok Bank Dunia dan ADB, cenderung tidak
bersedia memberi pinjaman dengan syarat lunak apabila akan digunakan untuk
membiayai subsidi APBN.
Kelima,
Meminta Bank Indonesia untuk membiayai defisit
APBN (seigniorage). Opsi ini juga sulit dilaksanakan karena kebijakan ini akan
meningkatkan “ekspektasi inflasi” yang tinggi pada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar